Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (ADT) di Catur Desa (Desa Gobleg, Desa Munduk, Desa Gesing, Desa Umejero menganggap bahwa Danau Tamblingan beserta Alas Mertajati adalah sumber kehidupan yang sesungguhnya. Bagi mereka, daerah tersebut adalah asal usul kehidupan sebelum kemudian mereka turun ke Desa Gobleg – desa yang dipandang sebagai desa tertua dalam cerita asal usul kehidupan mereka.
Dalam pandangan orang luar, Danau Tamblingan dan Alas Mertajati sejatinya hanya area penanggap air yang mengairi hampir sepertiga kebutuhan air di Pulau Bali. Untuk masyarakat di Catur Desa arti Danau Tamblingan dan Alas Mertajati jauh lebih sakral. Bukti-bukti kesakralan kawasan yang dianggap suci ini sangat nyata dengan terdapatnya puluhan pura yang tersebar di dalam dan sekitar hutan dan danau. Di kawasan Alas Mertajati, terdapat 17 pura atau pelinggih yang semua saling terkait.
Keinginan untuk tetap menjaga Danau Tamblingan dan Alas Mertajati untuk tetap menjadi kawasan suci dan mengembalikan fungsinya kembali menjadi kawasan adat menjadikan masyarakat di Catur Desa melakukan pemetaan partisipatif.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Baga Raksa Alas Mertajati (BRASTI) Putu Ardana saat berlangsungnya mission atau kunjungan monitoring Bank Dunia selaku administrator Program DGM-I. Hadir dalam pertemuan itu perwakilan Samdhana Institute selaku National Executing Agency (NEA) Dedicated Grants Mechanism Indonesia (DGM-I), Bank Dunia dan anggota National Steering Committee (NSC). Pertemuan tersebut berlangsung pada hari Selasa (4/10/2022) di Desa Gobleg, Kabupaten Buleleng, Bali.
Ini merupakan mission terakhir pada 2022, tahun periode akhir pelaksanaan proyek yang telah berjalan sejak Juli 2017. DGM-I dan Bank Dunia menjadwalkan monitoring setiap 6 bulan untuk memantau kelancaran pelaksanaan proyek, juga mendapatkan solusi untuk kendala dan tantangan pelaksanaan proyek.
Dalam kesempatan ini, Putu menyampaikan bahwa Alas Mertajati mengalami degradasi lingkungan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan jumlah flora dan fauna yang berkurang dari tahun ke tahun.
“Binatang-binatang mulai punah termasuk tanaman, walaupun terlihat masih asri tapi di dalamnya ada wilayah yang bolong, kosong,” kata Putu.
Melalui Yayasan Wisnu selaku mitra Samdhana Institute yang didukung oleh DGM-I, BRASTI melaksanakan kegiatan pemetaan partisipatif untuk memetakan wilayah adat. BRASTI merupakan organisasi yang sebagian besar anggotanya adalah anak-anak muda dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.
Dalam pemetaan yang dilakukan beberapa waktu lalu, mereka mencatat luas wilayah, keragaman flora dan fauna, serta situs-situs adat yang terdapat dalam Alas Mertajati. Berkas tersebut kemudian menjadi dokumen untuk diajukan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk permohonan pengelolaan Alas Mertajati sebagai Hutan Adat.
“Sehingga apabila fungsinya kembali menjadi hutan adat yang akan kami lakukan adalah renaturing baik flora maupun fauna,” kata Putu.
Selama pemetaan, anggota BRASTI juga belajar tentang adat memuliakan air yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan. Bahkan, mereka telah menjadi anak-anak muda yang ‘fanatik’ dengan adat.
Hal ini diapresiasi oleh tim Bank Dunia yang dipimpin langsung Iwan Gunawan selaku Task Team Leader di Indonesia yang ikut dalam diskusi tersebut. Ia mengapresiasi langkah BRASTI yang melibatkan anak-anak muda sebagai pelaku dalam pelestarian Alas Mertajati.
“Masa depan ada di generasi penerus kita, di mana pun mereka berada, seperti di Tamblingan, melibatkan anak muda karena mereka dekat dengan dunia digital dan sebagainya,” kata Iwan.
Ia juga mengingatkan agar BRASTI juga merangkul anak-anak muda dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi hingga peneliti.
“Karena keragaman adalah sesuatu yang bagus,” kata Iwan dalam forum tersebut.
Di akhir diskusi, BRASTI berharap Alas Mertajati dapat berstatus sebagai Hutan Adat sehingga kawasan suci tersebut dapat tetap terjaga. Selain itu, fungsinya sebagai salah satu sumber air untuk subak di Bali masih terus lestari. Salah satu subak yang bersumber pada Danau Tamblingan adalah Subak Jatiluwih yang resmi ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada Juni 2012.
“Subak di Jatiluwih sumber airnya dari sini, mereka secara berkala melakukan ritual di sini, sebagai bentuk kompensasi atas jasa Alas Mertajati karena telah menjadi penyuplai air,” kata Putu.
Sambil menunggu keputusan dari KemenLHK, BRASTI telah berulang kali mencegah investor yang ingin membuka bisnis di Alas Mertajati. Bahkan, ada investor yang sudah memegang izin dari menteri. Hal ini dikarenakan Alas Mertajati berstatus sebagai Tempat Wisata Alam atau TWA, sehingga memungkinkan investor untuk berinvestasi. Tamblingan ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Buyan-Tamblingan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 144/Kpts-II/1996 dengan luas 1.336,5 hektar dan dikelola Balai KSDA Bali.
Walau telah mengantongi izin, BRASTI tetap menolak kehadiran investor karena dapat merusak keaslian dan kesucian Alas Mertajati.
“Kami sampaikan ke pusat, bahwa investasi di Alas Mertajati tidak sesuai dengan nilai yang kami punya, jika diperlukan akan kami pertahankan dengan jiwa dan raga,” kata Putu.
Berkat usaha yang tidak kenal lelah itu, Alas Mertajati bebas dari campur tangan investor. Hal ini juga tidak lepas dari dukungan semua pihak, termasuk pemimpin adat di Tamblingan yang teguh menjaga Alas Mertajati agar tetap lestari dan suci.
0 Comments