Budidaya Pertanian Buah dan Sayur Lokal di Kampung Bandar Klippa


Petani di Bandar Klippa tengah merawat tanaman kangkungnya. (BPRPI/Jalu Hasunndungan)

Oleh Jalu Hasudungan Siregar, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) PW Serdang

Masyarakat adat Rakyat Penunggu Kampung Bandar Klippa memiliki klaim wilayah adat luas 1743 ha yang berada di lokasi Desa Bandar Klippa, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Wilayah yang telah dikelola atau dimanfaatkan untuk perladangan dan tempat tinggal mencapai luas 48 ha. Budaya berladang yang sebelumnya adalah ciri khas masyarakat, kini tidak menjadi mata pencaharian utama karena luas lahan sempit dan hasil sedikit, sehingga tidak sebanding dengan pengeluaran keluarga.

Wilayah adat ini secara sejarah dimulai dari kontrak oleh Hindia Belanda untuk dijadikan perkebunan tembakau. Masyarakat adat menunggu sampai selesai panen, kemudian diberikan kesempatan menanam palawija di areal bekas tanaman tembakau. Masyarakat adat juga mendapat bagian keuntungan dari hasil penjualan daun tembakau. Ketika Indonesia merdeka, areal perkebunan tembakau diambil alih pemerintah dan kemudian diserahkan kepada perusahaan perkebunan milik negara yang mengisinya dengan perkebunan tebu, kakao dan kelapa sawit. Hal ini memperburuk kehidupan masyarakat. Banyak yang mengalami kelaparan dan jatuh miskin karena tidak dapat mengelola lahan untuk pertanian tanaman pangan. Saat ini pemerintah tidak lagi memperpanjang HGU bagi perusahaan perkebunan. Masyarakat adat Rakyat Penunggu melakukan pendudukan selama 15 tahun dan berhasil mendirikan satu kampung di bekas areal perkebunan tebu. Pemetaan partisipatif wilayah adat telah dilakukan dan tata ruang atas wilayah adat yang dikuasai dan dikelola telah dibuat. Areal yang ada saat ini lebih banyak difungsikan sebagai tempat tinggal dan menanam tanaman semusim tetapi hasil panen tidak memadai, sehingga lebih banyak perempuan dan pemuda bekerja di kota. Perempuan dan pemuda yang tidak bekerja di kota lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bertani seadanya dengan hasil yang sedikit.

Mengacu pada tata ruang partisipatif, wilayah adat terbagi atas 4 areal besar yaitu hutan reba, lahan perladangan kolektif (milik bersama), fasilitas umum dan perumahan warga (termasuk pekarangan untuk bercocok tanam). Areal ini sangat rentan terdampak perluasan kota melalui alih fungsi lahan perladangan menjadi areal pemukiman dan infrastruktur (kawasan industri).

Dana DGMI (Dedicated Grant Mechanism-Indonesia) digunakan untuk mendukung dua skema yakni (1) pertanian keluarga yang menanam tanaman sayur (bayam, kangkung, sawi), obat-obatan (jahe, kunyit, kencur, temulawak, sereh) dan buah (nangka, kweni, sirsak, alpukat) di pekarangan; dan (2) pertanian sayur dan buah kolektif yang ditanam di areal-areal milik bersama atau milik adat. Sebelum dilakukan penanaman, masyarakat terlebih dahulu melakukan musyawarah dan menyepakati lahan yang akan ditanami melalui izin dari ketua adat. Hasil panen sayur dan buah dikelola oleh satu unit usaha komunitas yaitu Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).  Sebanyak 20 orang perempuan telah menjadi penerima manfaat langsung kegiatan ini. Mereka berasal dari keluarga petani Masyarakat Adat Penunggu. Sementara itu, jumlah penerima manfaat tidak langsung adalah sebanyak 61 orang.

Kegiatan yang dilaksanakan, diantaranya:

  • pelatihan budidaya (penanaman, perawatan dan pemanenan) tanaman sayur
  • pelatihan pengemasan dan penjualan tanaman sayur; 
  • pelatihan manajemen keuangan; 
  • pembentukan BUMMA; dan 
  • menyediakan gerai tempat pemasaran produk inovasi. 

Risiko lingkungan dari kegiatan pengembangan pertanian yakni pencemaran input kimia. Untuk itu, beberapa Langkah mitigasi telah dilaksanakan dalam upaya pengamanan lingkungan (environmental safeguards) dengan mengelola sistem pertanian buah dan sayuran lokal secara organik (tanpa pupuk kimia dan zat beracun kimia lainnya). Beberapa praktik pertanian organik yang telah dijalankan:

  • mengolah sampah-sampah organik yang berasal dari limbah sayuran, dedaunan, dan kulit buah sebagai pupuk alami untuk tanaman; 
  • mengendalikan gulma tanpa bahan kimia, melainkan dengan cara dicabut, dibabat, dibakar ataupun menggunakan plastik mulsa; dan 
  • meminimalkan penggunaan pestisida kimia pada tanaman sayuran, sedangkan pada tanaman obat dan buah sudah tidak lagi menggunakan pestisida kimia.

Aktivitas pertanian organik baru dipraktikkan oleh sebagian kecil petani sayuran. Sebagian besar petani masih memilih pertanian konvensional sebagai mata pencaharian. Beberapa petani yang telah mencoba pertanian sayuran organik mengeluhkan bahwa hasil panen yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Selain itu, pada pertanian organik energi petani lebih banyak terkuras karena harus membuat sendiri pupuk alami untuk tanaman. Oleh karenanya, ketergantungan petani terhadap pestisida kimia dan herbisida kimia masih cukup tinggi, khususnya untuk pertanian sayuran.

Kegiatan pertanian di Kampung Bandar Klippa telah melakukan pembagian kerja antara kaum laki-laki dan perempuan. Biasanya para laki-laki yang bertugas menyiapkan lahan yang akan ditanami, seperti melakukan pembersihan semak/gulma, pembalikan tanah, dan pembuatan bedeng tanam. Selanjutnya, para perempuan bertugas menanam benih sayuran, sementara laki-laki bertugas menanam bibit-bibit buah. Pada proses perawatan tanaman, kaum perempuan terlibat dalam pemupukan, pencabutan gulma, dan pengumpulan sampah organik, sementara kaum laki-laki terlibat dalam proses penyiraman tanaman dan pembakaran sampah organik.

Selain pembagian peran pada aktivitas usaha tani, masyarakat adat juga telah terbiasa dengan pembagian peran domestik. Kaum laki-laki tak lagi merasa canggung melakukan berbagai pekerjaan domestik yang selama ini di tempat lain umumnya hanya dilakukan oleh kaum perempuan. Aktivitas laki-laki menjemur pakaian di pekarangan rumah kerap dijumpai di Bandar Klippa pada saat pagi hari.

0 Comments