Cerita Perjuangan Warga Gerduren Agar Berdaulat Atas Hutan



Tempat Wisata Gunung Pertapan yang kini dikelola oleh Pokdarwis Pesona Gerduren, Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jateng. (MONGABAY INDONESIA/L Darmawan)

Hampir di setiap wilayah yang memiliki hutan, dipastikan ada dongeng secara turun temurun. Nenek moyang suatu daerah memiliki cerita mitos yang kemudian dipercayai bersama di satu wilayah setempat. Tak terkecuali Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Kepala Desa (Kades) Gerduren Bambang Suharto menceritakan, semasa kecil dirinya sudah mendengar cerita mistis yang mengeramatkan hutan yang berada di perbukitan desanya. Setidaknya ada dua lokasi yakni Watu Gajah dan Kali Mlimping. Ratusan tahun cerita itu bertahan di tengah-tengah masyarakat. Mereka sama sekali tidak berani mendekat, apalagi sampai masuk. Apalagi, di sungai tengah hutan ada yang disebut sebagai mijajaran atau cerita siluman yang gemar makan ikan mentah.

“Pada waktu itu, memang hutan masih rimbun, dan air mengalir begitu jernih. Orang membiarkan hutan tetap tegak berdiri dengan bungkusan dongeng semacam itu,” ungkap Bambang kepada Mongabay, Jumat (27/3).

Dongeng mistis yang ada, entah benar atau tidak, harus dipahami sebagai kearifan lokal lingkungan yang diturunkan sejak nenek moyang. Hutan terjaga, mata air terus mengalir sepanjang tahun.

“Namun, dongeng yang mengeramatkan hutan menjadi sirna, ketika tahun 1978, Perhutani melakukan penebangan besar-besaran. Hutan yang ditanami angsana dan jati hampir habis. Dengan penebangan itu, maka daerah menjadi terbuka. Masyarakat tidak takut lagi masuk hutan. Dampaknya memang sangat nyata, lingkungan berubah drastis dan tidak ada cerita mitos yang tersisa sebagai benteng kearifan lokal terhadap lingkungan,” ungkap Bambang.

Dijelaskan oleh Bambang, perubahan lingkungan itu, salah satunya mengakibatkan mata air menjadi kering. Keresahan bertahun-tahun akhirnya menjadikan para pemuda desa setempat memulai berorganisasi.

“Saya masih ingat, ketika itu tahun 1994, saya jadi ketua pemuda. Dalam satu gendu-gendu rasa (diskusi), kami menyimpulkan bahwa masyarakat harus peduli terhadap hutan. Tetapi apa daya, petani hutan tidak mempunyai posisi tawar. Petani hanya dijadikan obyek menjaga hutan. Ini jelas tidak menyelesaikan persoalan. Bahkan, kemunculan konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) juga masih menjadikan petani sebagai obyek saja, bahkan kerap petani justru dikriminalisasi,”ungkapnya.

Namun demikian, Bambang sebagai pemuda desa tidak patah arang. Ia mulai mengorganisasi para pemuda dan mulai serius digarap pascareformasi pada 1998 silam.

“Pada tahun 1999, kami didampingi NGO asal Purwokerto yakni Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH). Terbentuklah kemudian Serikat Petani Hutan Banyumas (SPHB). Inilah yang menjadi cikal bakal gerakan perjuangan Serikat Tani Hutan Banyumas Pekalongan (Stan Balong). Dengan organisasi ini, maka petani memiliki posisi tawar dengan Perhutani dalam melakukan pengelolaan hutan. Perjuangan memang tidak mudah. Tetapi kami memperjuangkan bahwa masyarakat sekitar hutan tak bisa dipisahkan dari hutan. Hutan menjadi penyangga kehidupan masyarakat,”tegasnya.

Bahkan gerakan itu menjadi salah satu penggerak pertemuan petani hutan se-Jawa. Gerakan-gerakan petani hutan memang masih terus digalang demi akses mengelola hutan oleh masyarakat.

Ternyata ada angin segar bertiup pada 2017 lalu, ketika pemerintah mulai membuka kesempatan bagi warga untuk mengelola hutan. Menurutnya, ada dua pilihan yakni pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan (Kulin KK) dan izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS). “Kami sepakat untuk mengajukan IPHPS untuk Desa Gerduren. Saat ini, proposal sudah masuk ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Sampai sekarang sudah masuk, menunggu adanya verifikasi. Kami memilih IPHPS jika dibandingkan dengan Kulin KK,” jelas Bambang.


Keterlibatan Perempuan

Bambang mengatakan gerakan panjang perjuangan daulat atas hutan dalam setahun terakhir juga melibatkan para ibu dan pemudi. “Mereka sengaja kami libatkan, bahkan sejak awal ada pemetaan. Jadi, sebelum bergerak, maka yang paling penting adalah mengetahui kemampuan desa. Oleh karena itu, kami bersama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Para ibu-ibu yang semangat melaksanakan pemetaan di desa,” kata Bambang.

Menurut Bambang, wilayah hutan di Desa Gerduren seluas 85 ha di petak 8 dan 200 ha di petak 9. Hutan di desa setempat masuk wilayah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur.

“Dengan potensi seluas itu, tentu hutan akan mampu menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, diperlukan konsep yang kuat. Sehingga ada rembugan antarwarga desa, memetakan wilayah dan potensi. Saat ini, telah memproses wisata di Gunung Pertapan. Di perbukitan tersebut, orang bisa bersantai di bawah tegakan pohon damar. Sudah terbentuk juga kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Pesona Gerduren, dan sebagian besar pengurusnya adalah perempuan,” katanya.

Salah seorang pegiat perempuan yang ulet dalam mengorganisasi dan mengurus wisata Gunung Pertapan adalah Narsem. Ia mengatakan sejak dibuka pada tahun 2019, sudah cukup banyak pengunjung yang datang.

“Mereka yang mengunjungi Gunung Pertapan dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai para ibu. Di sini para pengunjung dapat berjalan-jalan di antaranya hutan pinus, bermain, dan bisa duduk-duduk sambil membuka bekal dari rumah atau sekadar memesan kopi dari pedagang yang ada di sekitar lokasi ini,” jelasnya.

Narsem mengatakan sebagai obyek wisata baru, pihaknya memang belum dapat menarik secara besar ongkos masuknya. Namun, dengan adanya wisata desa tersebut bakal menjadi tonggak harapan masyarakat di masa mendatang. “Dalam mengelola wisata ini, kami membuat tempat-tempat untuk beristirahat dan sekadar selfie. Selain itu, ada jalanan setapak yang digunakan untuk berjalan-jalan sampai puncak perbukitan,”ungkapnya.

Narsem mengatakan bahwa adanya wisata desa, maka akan berdampak bagi kesejahteraan warga dan nantinya dapat mengurangi pengangguran.”Kami yakin ada dampak positif yang akan dirasakan, yakni mengurangi pengangguran dan menambah pendapatan. Tidak hanya bagi pengelola, tetapi juga warga sekitar yang barangkali berjualan di kawasan Pertapan Gerduren,” kata Narsem.

Sementara Kharis, perangkat desa perempuan di Gerduren, mengatakan meski belum ada pemasukan ke desa, tetapi yang paling penting adalah telah menggugah semangat warga. Wisata Gunung Pertapan menjadi momentum bagi warga, khususnya perempuan untuk berkiprah.

“Dengan membuka wisata di hutan, warga belajar bagaimana memanfaatkan aset hutan tanpa harus merusaknya. Karena kalau hutannya rusak, tentu wisatanya tidak akan laku. Inilah pentingnya keberlanjutan,”katanya.

Selain mengurus wisata, para perempuan juga mulai membikin produk kerajinan dan makanan olahan. “Kebetulan, saat sekarang telah dibantu peralatan untuk membuat keripik singkong. Selain itu, juga ada hasil keterampilan lainnya yakni taplak medan dan kerudung perempuan. Tentu saja, kegiatan semacam ini akan terus digalakkan. Sehingga nantinya dapat melengkapi kegiatan perempuan di desa. Ada wisata, kerajinan tangan dan produk olahan,” tambahnya.


Sumber: "Cerita Perjuangan Warga Gerduren Agar Berdaulat Atas Hutan", mongabay.co.id, 29 Maret 2020

0 Comments