MAKL dari 8 Negara Berbagi Pengalaman Pada DGM Asia Exchange 2018 di Sulawesi Selatan



Peserta DGM Asia Exchange foto bersama sesaat setelah kegiatan di Makassar. Foto oleh Deby Rambu


Sebagai bagian dari Program Dedicated Grants Mechanism (DGM), Samdhana Institute sebagai National Executing Agency (NEA) bersama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara-Sulawesi Selatan (PW AMAN Sulsel) mendukung Global Executing Agency (GEA) menyelenggarakan kegiatan pembelajaran lintas region untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman seputar perubahan iklim, permasalahan tenurial dan pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat dan masyarakat lokal secara lestari. Tahun ini, pelaksanaan DGM Regional Asia Exchange kedua berlangsung pada 12 Februari – 16 Februari 2018 di Sulawesi Selatan.

Sebanyak 28 partisipan dari Indonesia, Nepal, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, Ekuador dan Peru, bersama sama pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengikuti rangkaian kegiatan yang dikoordinasikan oleh PW AMAN Sulawesi Selatan dan Samdhana. Pertukaran ini berfokus kepada akses pengelolaan hutan dan lahan oleh  Masyarakat Adat Komunitas Lokal (MAKL) berdasarkan Perjanjian Paris, dan menampilkan bagaimana peran beberapa pemimpin adat terkemuka, yang secara aktif terlibat langsung dalam negosiasi dan penjabaran mitigasi perubahan iklim dan pengelolaan hutan lestari secara global sampai lokal.

Agenda pertama DGM Asia dilakukan di Makassar, 12-13 Februari 2018. Berlanjut kunjungan dan diskusi dengan Pemerintah Kabupaten Bulukumba, 14 Februari 2018, untuk berdiskusi tentang peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Dilanjutkan kunjungan ke Tana Beru untuk melihat pembuatan perahu tradisional Phinisi. Perahu phinisi dikenal sebagai sarana transportasi laut tradisional di kalangan orang Bugis sejak berabad-abad yang lalu, yang terkenal mengarungi berbagai benua.

Puncaknya pada 15 Ferbuari 2018 peserta berkunjung ke Tana Toa untuk berinteraksi langsung dengan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Disini peserta berdiskusi dan melihat langsung, bagaimana pandangan Masyarakat Adat Amatoa Kajang terkait sumber daya alam harus dikelola secara terpadu sehingga alam bisa terus memberikan layanan lingkungan dan memenuhi kebutuhan antar generasi. Ammatoa Kajang menerapkan sistem manajemen wilayah yang adat terpadu, wilayah yang dimiliki bersama maupun wilayah untuk penggunaan individu ditetapkan. Kawasan yang dimiliki bersama meliputi orong (hutan), tamparang labbayya (danau), timbusu (mata air), pakuburan(masyarakat pemakaman), panganreng Galla’rang (lahan bengkok), dan saukang (tempat untuk ritual adat). Wilayah untuk individu penggunaannya meliputi perumahan, sawah, dan perkebunan.

Dipilihnya Bulukumba sebagai lokasi pertukaran karena wilayah ini merupakan salah satu pioner hutan adat yang telah diakui keberadaannya oleh Pemerintah pada akhir tahun 2016. Pemerintah daerah (Pemda) bersama sama dengan DPRD kab Bulukumba mendukung upaya pemenuhan hak-hak masyarakat adat dengan menerbitkan Perda Perlindungan dan Pengakuan Hak Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bulukumba, Misbawati A Wawo menjelaskan, bahwa pemda Bulukumba senantiasa berkomitmen terhadap pengelolaan dan pembinaan masyarakat adat di Bulukumba. Komitmen tersebut telah dijalankan melalui berbagai program kegiatan dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

“Hutan yang dikelola Masyarakat Adat kondisinya lebih baik dibanding hutan yang dikelola pemerintah. Kita harus mendukung agar hutan benar-benar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya,”terang Misbawati.

George Weyasu, anggota National Steering Committee (NSC) DGM Indonesia yang mewakili wilayah Papua mengapresiasi apa yang telah dilakukan Pemda Bulukumba.

Menurutnya kepastian soal hutan adat dan dukungan untuk masyarakat adat baik bidang kesehatan, pendidikan dan mata pencaharian penting untuk terus dikembangkan.

“Banyak hal yang kami dapati dari pertemuan ini untuk kepentingan Masyarakat Adat baik Papua dan secara khusus di Indonesia. Seperti kemarin saat pertemuan dengan pemerintah Bulukumba,” terang George, sebagaimana disampaikan kepada Johnson Cerda.

Peserta dari Nepal, Pasang Durma Sherpa secara khusus membandingkan apa yang dilakukan di Bulukumba dengan negara asalnya, dimana sebuah peraturan akan kembali berubah jika masa pemerintahan telah berganti atau beralih kekuasaan. Senada dengan Pasang, Johnson Cerda dari Ekuador merasa senang Masyarakat Adat Kajang mendapat pengakuan. “Semoga hal ini bisa diikuti wilayah lain,” terang Johnson, seperti dikutip beritablukumba.com.


Sumber: dgmglobal.org, beritabulukumba.com


0 Comments